Jakarta - Industri pinjaman online atau yang lebih dikenal dengan istilah "pinjol" semakin mendapat perhatian, terutama dalam hal pengelolaan risiko dan restrukturisasi utang. Dalam ekosistem ini, mekanisme restrukturisasi memiliki sifat yang unik dan berbeda dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional.
Perbedaan ini muncul karena pinjol berfungsi sebagai platform yang mempertemukan pemberi pinjaman (lender) dan penerima pinjaman (borrower) secara langsung, Selasa, 7 Januari 2025.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tujuan utama restrukturisasi utang adalah untuk memberikan keringanan cicilan demi meringankan beban para debitur. Namun, dalam konteks pinjaman berbasis teknologi finansial atau fintech peer to peer (P2P) lending, keputusan restrukturisasi sepenuhnya berada di tangan pemilik dana atau lender. “Proses restrukturisasi di platform P2P lending membutuhkan persetujuan langsung dari lender karena mereka adalah pemilik dari dana yang dipinjamkan,” jelas Nadila Rezika, seorang pakar fintech.
Aturan restrukturisasi dalam sektor pinjol diatur jelas dalam Pasal 13 POJK 19/2022. Pasal tersebut menyebutkan bahwa restrukturisasi pinjaman hanya dapat dilakukan jika debitur mengalami dampak dari bencana alam. Di sinilah letak perbedaan mencolok dibandingkan dengan bank: di bank, kebijakan restrukturisasi dapat terjadi karena berbagai alasan, termasuk kesulitan finansial yang dialami debitur. Untuk pinjol, setiap pengajuan restrukturisasi harus terdokumentasi dengan baik oleh penyelenggara, dan yang terpenting, harus mendapat persetujuan dari lender.
Proses ini menunjukkan bahwa borrower harus mengajukan permohonan restrukturisasi langsung kepada lender. Penyedia platform fintech lending di sini berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai pengambil keputusan akhir. Menurut Nadila Rezika, “Penanggung jawab utama untuk menyetujui atau menolak permohonan restrukturisasi tetap berada di tangan lender, karena investasi dana sepenuhnya milik mereka.”
Di tengah situasi ini, penyelenggara pinjaman online tetap memiliki peran penting. Mereka melakukan kegiatan penilaian dan analisis kelayakan terhadap permohonan restrukturisasi yang diajukan oleh borrower. Hasil analisis ini kemudian disampaikan kepada lender, yang akhirnya memiliki wewenang untuk mengambil keputusan akhir.
Secara sederhana, penyelenggara bertindak sebagai jembatan komunikasi dan informasi antara borrower dan lender, memastikan bahwa semua pihak mendapatkan informasi yang tepat dan transparan. Proses ini menekankan pentingnya transparansi dan kerja sama serta kepercayaan antara ketiga pihak: borrower, lender, dan penyelenggara.
Namun, tantangan dalam menghadapi proses restrukturisasi ini tetap ada. Seringkali, kendala muncul dari sisi borrower yang merasa kesulitan dalam mengajukan permohonan restrukturisasi akibat ketidaktahuan akan prosedur atau kurangnya komunikasi dengan pihak lender. Di lain sisi, lender juga membutuhkan jaminan dan kepercayaan bahwa dana yang mereka investasikan masih dapat diandalkan meski adanya permohonan restrukturisasi ini.
Agar skema ini berjalan efektif, edukasi dan peningkatan literasi keuangan bagi borrower harus giat dilakukan oleh penyelenggara pinjol. “Edukasi yang tepat serta peningkatan literasi keuangan bisa menjadi kunci dalam menjembatani gap yang ada antara borrower dan lender,” tambah Nadila.