Jakarta - Dalam menghadapi tekanan suku bunga tinggi, sektor perbankan di Indonesia mencatatkan berbagai strategi efektif untuk menjaga pertumbuhan kinerja. Salah satu strategi utama yang diambil oleh institusi perbankan adalah menurunkan biaya impairment atau provisi, yang sejalan dengan perbaikan kualitas aset mereka.
Perubahan kebijakan ini terlihat dari data per November 2024, di mana rata-rata biaya provisi bank menunjukkan penurunan yang signifikan. Strategi ini berkontribusi terhadap penurunan beban operasional bank, sehingga memberikan ruang bagi bank untuk mencetak laba yang lebih tinggi, Senin, 6 Januari 2025.
PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) adalah salah satu bank yang berhasil mencatat penurunan biaya provisi cukup signifikan. Hingga November 2024, biaya provisi bank ini menurun sebesar 30,45% secara tahunan menjadi Rp 1,14 triliun. Meskipun pendapatan bunga bersih mengalami penurunan sebesar 3,42% menjadi Rp 11,14 triliun, laba CIMB Niaga justru meningkat 4,86% menjadi Rp 5,85 triliun.
Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menegaskan bahwa penghitungan provisi yang dilakukan bank berdasarkan pada perkiraan kualitas aset yang dimiliki. "Bank CIMB melihat kualitas aset sudah baik dan merupakan basis bagus untuk pertumbuhan lebih tinggi," ujar Lani, Jumat, 3 Januari 2025.
Tidak hanya CIMB Niaga, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga mencatat penurunan biaya provisi sebesar 15,46% menjadi Rp 2,03 triliun. Meskipun menghadapi tantangan ekonomi, BCA tetap mampu mencatat pertumbuhan pendapatan bunga bersih sebesar 9,29%, mencapai Rp 70,15 triliun. Pada akhirnya, laba BCA meningkat signifikan sebesar 14,31% menjadi Rp 50,47 triliun.
Hera F. Haryn, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, menyatakan bahwa kedisiplinan BCA dalam menyalurkan kredit menjadi faktor penting yang menjaga kualitas kredit bank. "BCA disiplin dalam menyalurkan kredit, sehingga kualitas kredit terjaga," ungkap Hera.
Selanjutnya, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) melaporkan penurunan biaya provisi sebesar 18,72%, menjadi Rp 6,41 triliun. Meski menghadapi penurunan pendapatan bunga bersih sebesar 3,87%, laba BNI tetap naik 4,04% menjadi Rp 19,81 triliun.
Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa biaya pencadangan ditetapkan sesuai kebutuhan yang dievaluasi berdasarkan proyeksi kualitas aset. "Saat ini, kami yakin kualitas aset akan membaik. Kami melihat rasio pencadangan saat ini ada di level cukup," terangnya.
PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) turut menorehkan catatan positif dengan penurunan beban provisi sebesar 35,57%, menjadi Rp 2,2 triliun. Walaupun masih mengalami sedikit tekanan akibat kondisi makroekonomi dan tingginya suku bunga, BBTN optimis terhadap prospek tahun 2025.
Direktur Manajemen BTN, Setiyo Wibowo, mengatakan, "Kualitas kredit kami sedikit tertekan karena kondisi makro dan suku bunga tinggi. Tapi 2025 kondisinya akan membaik dengan tekanan makro yang lebih baik dan suku bunga yang mulai turun."
Secara keseluruhan, langkah-langkah efisiensi yang diambil oleh berbagai bank besar di Indonesia menunjukkan optimisme terhadap kualitas aset dan potensi pertumbuhan di masa mendatang. Di tengah lingkungan global yang penuh tantangan, kebijakan perbankan yang strategis diharapkan dapat mendukung stabilitas ekonomi nasional dan memberikan manfaat luas bagi para pemangku kepentingan. Dengan memegang teguh prinsip manajemen risiko dan efisiensi operasional, bank-bank Indonesia terus mengupayakan pencapaian yang lebih baik dan berkelanjutan.