JAKARTA - Langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melakukan pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) memicu prediksi suram terhadap pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah Indonesia. Kebijakan ini dianggap bisa menimbulkan efek domino yang merugikan, mulai dari kontraksi pertumbuhan ekonomi lokal hingga kendala dalam pelaksanaan program pemerintah daerah.
Menurut Bhima Yudhistira, Founder Center of Economic and Law Studies (Celios), kebijakan pemangkasan ini tidak memberikan stimulasi yang dibutuhkan perekonomian daerah. "Ada pemerintah daerah yang baru saja mengalami pemekaran, dan APBD mereka masih terbatas. Jika dana transfer dari pusat dikurangi, dampaknya akan membuat ekonomi di daerah semakin terpuruk," ujar Bhima.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Bhima menegaskan bahwa pengurangan TKD juga akan memengaruhi belanja pemerintah daerah secara signifikan. Kondisi ini akan berimbas pada sektor ekonomi masyarakat lokal, sebab para vendor lokal dapat menghadapi ketidakpastian. "Vendor-vendor di daerah bisa saja menghadapi ketidakpastian nasib. Begitu juga dengan lapangan kerja di daerah, UKM, dan bantuan sosial yang selama ini didukung oleh pemerintah daerah," tambah Bhima.
Lebih dari itu, kebijakan pemangkasan anggaran ini juga diyakini Bhima akan mempengaruhi pelaksanaan program-program sosial dan pembangunan, yang semestinya mendapat prioritas dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. "Pemerintah daerah dapat kehilangan fleksibilitas dalam mengimplementasikan program yang sudah dirancang sesuai kebutuhan lokal," katanya.
Imbas Terhadap Desentralisasi Fiskal
Bhima juga menyoroti bahwa kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat desentralisasi fiskal yang diatur dalam Undang-Undang. "Ini mencederai semangat desentralisasi fiskal yang seharusnya memberikan lebih banyak otonomi kepada pemerintah daerah di era otonomi daerah ini," jelasnya.
Bhima mengingatkan pemerintah pusat agar tidak terlalu intervensif dalam hal pemangkasan dan efisiensi anggaran daerah. "Pemerintah pusat seharusnya tidak terlalu ikut campur dalam instruksi pemangkasan dan efisiensi anggaran," tegasnya.
Khawatir akan masa depan ekonomi daerah, Bhima menyerukan kepada berbagai pemangku kepentingan untuk mengkaji ulang kebijakan ini. Faktor-faktor seperti ketersediaan lapangan kerja dan kesinambungan usaha kecil dan menengah harus menjadi fokus utama untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas.
Harapan dan Tantangan Ke Depan
Untuk mengantisipasi prediksi negatif ini, Bhima berharap ada kebijakan pengimbang yang lebih adaptif dari pemerintah pusat, agar setiap daerah dapat memitigasi dampak dari pengurangan dana tersebut. "Penting untuk mengedepankan kebijakan yang bisa membantu daerah dalam menghadapi tantangan ekonomi akibat kebijakan ini," imbuhnya.
Pengamat ekonomi lainnya juga mengingatkan agar kebijakan fiskal di tingkat nasional tidak mempertaruhkan stabilitas ekonomi lokal yang tengah berjuang untuk bangkit pasca pandemi. Beberapa pihak berharap agar pemerintah pusat dapat mengkomunikasikan kebijakan ini secara lebih mendalam kepada pemerintah daerah, guna menghindari kesalahpahaman serta agar tercipta sinergi yang lebih baik.
Menkeu Sri Mulyani sendiri belum memberikan pernyataan terkait berbagai kritik yang muncul dari kebijakan tersebut. Namun, jika tidak ada solusi yang tepat, kebijakan ini mungkin akan melemahkan daya saing ekonomi daerah, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi nasional.
Tentu saja, pemerintah pusat perlu mencari jalan tengah yang efektif agar pengurangan dana transfer ke daerah tidak sampai mengorbankan pertumbuhan ekonomi lokal. Ekonomi daerah yang kuat adalah fondasi bagi perekonomian nasional yang sehat, dan ini harus menjadi perhatian utama dalam setiap kebijakan yang dibuat.