Harga minyak dunia kembali mengalami lonjakan signifikan, mencatatkan kenaikan tertinggi dalam kurun waktu lebih dari empat bulan terakhir. Peningkatan ini dipicu oleh sanksi terbaru dari Amerika Serikat terhadap industri energi Rusia, yang dikhawatirkan akan memperketat pasokan minyak mentah di pasar global. Mengacu pada data Bloomberg, harga minyak jenis Brent mengalami kenaikan sebesar 1,8% dan mencapai posisi US$81,23 per barel, setelah sebelumnya melonjak hampir 4% dalam sesi perdagangan sebelumnya. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga meningkat 2% menjadi US$78,10 per barel.
Langkah tegas dari AS ini menargetkan dua produsen dan eksportir besar Rusia, serta perusahaan asuransi dan lebih dari 150 kapal tanker. Sanksi yang dijatuhi pada pekan lalu, tepatnya Jumat, 10 Januari 2025, menjadi yang paling agresif sekaligus ambisius dalam sejarah hubungan internasional kedua negara tersebut. Semua ini terjadi hanya beberapa minggu sebelum pelantikan Presiden terpilih AS, Donald Trump.
Situasi ini memberikan dampak signifikan terhadap pasar minyak di India dan China, dua negara dengan tingkat konsumsi minyak tertinggi di dunia. Dilaporkan bahwa kilang-kilang di kedua negara tersebut mulai mencari pasokan alternatif, menggantikan ketergantungan mereka pada minyak mentah Rusia. India sendiri telah menjadi pengimpor utama minyak Rusia pasca-invasi yang dilakukan Moskow ke Ukraina pada tahun 2022.
Peningkatan Harga dan Tantangan Baru
Peningkatan harga minyak mentah selama beberapa minggu terakhir terutama didorong oleh faktor cuaca, penurunan persediaan minyak AS, dan spekulasi terkait kebijakan sanksi lebih ketat dari pemerintahan Trump terhadap Iran di masa mendatang. Kenaikan harga yang pesat ini juga berpotensi menimbulkan tantangan baru bagi lembaga-lembaga moneter seperti Federal Reserve. Jika tren ini terus berlanjut dapat memicu inflasi yang lebih tinggi, memaksa bank untuk mempertimbangkan kebijakan suku bunga mereka dengan lebih cermat.
Analis pasar dari Citigroup Inc. menyebut bahwa sekitar 30% dari armada tanker bayangan Rusia dapat terkena dampak, mengancam pasokan hingga 800.000 barel per hari. Meski demikian, diperkirakan kerugian efektivitas dari sanksi tersebut mungkin kurang dari setengah dari angka tersebut. Di lain pihak, Goldman Sachs Group Inc. optimistis dengan harga minyak Rusia, menyatakan bahwa diskon harga untuk minyak mentah tersebut dapat mendorong pembelian lebih lanjut.
Pasokan Global dan Respons Asia
Vishnu Varathan, Kepala Ekonom dan Strategi di Mizuho Bank Ltd., menekankan bahwa neraca minyak global seharusnya dapat menghasilkan harga yang lebih stabil. "Produksi minyak di luar OPEC dan Rusia diprediksi dapat mengimbangi permintaan global. Bahkan, minyak Rusia masih dapat masuk ke pasar global meski ada sanksi—situasi ini telah terjadi berulang kali," ujarnya, memberikan pandangan betapa kompleksnya situasi pasar minyak saat ini.
Meningkatnya volatilitas harga turut mendorong penguatan kembali opsi perdagangan minyak, dengan indikasi volatilitas tersirat mengalami peningkatan dan munculnya bias terhadap opsi beli pada akhir pekan lalu. Sementara itu, indikasi bahwa pasokan minyak Rusia sudah mulai tertekan tampak dari penurunan drastis ekspor minyak mentah melalui jalur laut, mencapai level terendah sejak Agustus 2023.
Di kawasan Asia, khususnya India dan China, penyuling minyak mulai mengalihkan pembelian mereka ke sumber utama di Timur Tengah dan Cekungan Atlantik. Langkah ini diambil di tengah kekhawatiran bahwa pembatasan lebih lanjut terhadap impor dari Rusia dan Iran dapat menghambat akses mereka terhadap pasokan minyak yang aman dan berkelanjutan.
Prospek dan Pengaruh Terhadap Ekonomi Dunia
Perubahan drastis ini tidak hanya berdampak pada pasar minyak mentah, tetapi juga bisa memberikan dampak lebih luas terhadap perekonomian global. Paket sanksi dari pemerintahan Biden yang segera berakhir berpotensi membuat pasar makin goyah, menantang kartel pemasok OPEC+ dalam mempertahankan stabilitas pasokan.
Dalam beberapa bulan mendatang, pasar akan terus mencermati bagaimana kebijakan ini akan berkembang dan bagaimana para pelaku pasar, dari penyulingan hingga konsumen akhir, akan beradaptasi menghadapi tantangan baru ini. Pertanyaan besar yang menggantung adalah bagaimana ekonomi global dapat bertahan dari kenaikan harga minyak yang cepat ini dan apakah langkah-langkah kebijakan moneter tambahan akan diperlukan untuk mengcounter efek dari lonjakan harga minyak ini.
Sementara itu, para pemerhati ekonomi dan investor dicatat telah menurunkan ekspektasi mereka terhadap potensi pemotongan suku bunga dari Federal Reserve tahun ini, mengingat kuatnya kondisi ekonomi AS dan tetap tingginya tekanan harga. Jika situasi ini terus berlanjut, dunia sepertinya akan memasuki tahun yang penuh tantangan dalam hal keseimbangan antara pasokan energi dan kestabilan ekonomi global.