korporasi

Kerugian Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Korupsi Timah: Pakar Hukum Pertanyakan Metode Penghitungan

Kerugian Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Korupsi Timah: Pakar Hukum Pertanyakan Metode Penghitungan
Kerugian Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Korupsi Timah: Pakar Hukum Pertanyakan Metode Penghitungan

Jakarta — Polemik seputar kasus dugaan korupsi terkait produksi dan distribusi timah yang menyeret nama pengusaha Harvey Moeis semakin memanas. Kejaksaan Agung mengklaim bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp300 triliun. Namun, klaim tersebut kini diragukan, terutama setelah belum adanya pembuktian konkret mengenai angka kerugian yang fantastis itu hingga putusan akhir persidangan.

Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa, memandang bahwa klaim tersebut cenderung tendensius dan tidak terdukung oleh bukti kuat. "Klaim kerugian tersebut sejak awal cenderung tendensius dan diragukan kebenarannya. Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu," kata Ufran menjelaskan dalam keterangan yang diterima pada Senin, 6 Januari 2025.

Kerugian Negara yang Dipertanyakan

Ufran kemudian mempertanyakan langkah pihak Kejaksaan yang menetapkan lima korporasi sebagai tersangka. PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP) diduga terlibat dalam praktik yang menyebabkan kerugian negara. Namun, apakah kerugian ekologis akibat operasi mereka dapat dikategorikan sebagai kerugian finansial bagi negara masih menjadi tanda tanya besar.

"Lima korporasi ditetapkan sebagai tersangka yang diduga ikut berkontribusi dalam kerugian negara dengan sangkaan kerugian ekologis. Tetapi hingga saat ini belum ada argumentasi yang kuat untuk menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara," tambah Ufran. Ia menegaskan bahwa kerugian ekologis tersebut lebih cocok dikategorikan dalam pencemaran atau kerusakan lingkungan dan tidak bisa langsung dianggap sebagai akibat dari tindakan korupsi.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Peranannya

Ufran juga menyoroti peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menentukan kerugian negara. Ia menilai bahwa BPK, sebagai lembaga yang diamanatkan oleh konstitusi, sebaiknya memiliki otoritas utama dalam menentukan kerugian negara. Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 telah mendesentralisasi kewenangan ini ke lembaga lain seperti BPKP, namun sering kali terjadi ketegangan antara hasil audit BPK dan BPKP.

"Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," terangnya. Ufran menekankan pentingnya merujuk pada lembaga yang memiliki legitimasi konstitusional dalam menetapkan angka kerugian negara untuk menghindari ketidakpastian hukum.

Ketidakpastian Hukum dan Dampak Lanjutan

Situasi semakin kompleks ketika terdapat ketidakpastian hukum akibat perbedaan versi penghitungan kerugian negara antara BPK dan BPKP. "Hal ini diperparah dengan upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit," ujar Ufran menandasi. Ia menyoroti bahwa praktik semacam ini dapat menimbulkan ketidakadilan dan menghambat proses hukum yang seharusnya adil dan transparan.

Detail Kerugian per Korporasi

Dalam konteks ini, rincian kerugian yang dituduhkan kepada korporasi-korporasi tersebut juga menuai perhatian. PT RBT dituduh menyebabkan kerugian sekitar Rp38,5 triliun, PT SBS sebesar Rp23,6 triliun, PT SIP senilai Rp24,3 triliun, CV VIP sekira Rp42 triliun, dan PT TIN sebesar Rp23,6 triliun. Angka-angka ini sendiri belum mendapat pembenaran melalui audit yang sah menurut konstitusi.

Seiring berjalannya kasus ini, berbagai pihak mendesak transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum serta pengauditan kerugian negara. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berdasarkan bukti nyata, kepastian hukum dapat tercapai dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat bisa ditegakkan. Kasus ini menjadi pengingat akan perlunya koordinasi dan kerjasama antar lembaga dalam menangani kasus-kasus besar yang memiliki dampak luas bagi negara.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index