Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan seperangkat aturan baru terkait skema pembayaran "Buy Now Pay Later" (BNPL) yang saat ini semakin populer di kalangan konsumen. Aturan ini ditujukan untuk melindungi pengguna dari potensi jebakan utang serta memberikan keamanan bagi perusahaan pembiayaan yang menawarkan skema BNPL.
Dalam perkembangan terbaru, OJK menetapkan usia minimum bagi nasabah yang ingin memanfaatkan skema BNPL. Hanya individu berusia 18 tahun atau yang sudah menikah, dengan pendapatan bulanan minimal Rp3.000.000, yang dapat mengakses fasilitas ini. Langkah ini dinilai penting untuk memastikan bahwa konsumen memiliki kapasitas finansial yang memadai untuk menangani kewajiban pembayaran mereka, Senin, 6 Januari 2025.
“Kewajiban pemenuhan atas persyaratan/kriteria nasabah/debitur dimaksud efektif berlaku terhadap akuisisi nasabah/debitur baru, dan atau/perpanjangan pembiayaan PP BNPL, paling lambat tanggal 1 Januari 2027,” ungkap Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, dalam keterangan tertulis resminya pada Jumat, 3 Januari 2025.
Ismail menekankan bahwa aturan baru ini dirancang untuk melindungi industri layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI) dari risiko hukum dan reputasi yang mungkin muncul. “Untuk meminimalisir potensi risiko hukum dan reputasi bagi pelaku industri LPBBTI, maka dipandang perlu untuk melakukan penguatan pengaturan mengenai LPBBTI,” jelas Ismail dalam pernyataannya.
OJK juga memperkenalkan klasifikasi baru bagi pemberi dana dalam skema pendanaan ini. Pemberi Dana akan dibedakan menjadi Pemberi Dana Profesional dan Pemberi Dana Non Profesional. Klasifikasi ini ditujukan untuk memastikan aliran dana lebih terkontrol dan mencegah risiko yang tidak diinginkan.
Pemberi Dana Profesional mencakup lembaga jasa keuangan, perusahaan berbadan hukum Indonesia atau asing, warga negara Indonesia dengan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun, warga negara asing, serta instansi pemerintah pusat dan daerah, atau pemerintah asing. Di sisi lain, Pemberi Dana Non Profesional adalah individu dalam negeri dengan penghasilan sama dengan atau di bawah Rp500 juta per tahun, yang hanya boleh mengalokasikan maksimal 10 persen dari total penghasilan tahunannya pada satu penyelenggara LPBBTI.
“Terhadap penguatan pengaturan mengenai LPBBTI tersebut di atas, Penyelenggara LPBBTI diminta melakukan langkah-langkah persiapan dan upaya mitigasi risikonya agar tidak berdampak negatif terhadap kinerja penyelenggara LPBBTI,” tambah Ismail.
Semenjak berkembang pesatnya tren BNPL, banyak konsumen yang terjebak dalam lingkaran utang yang mengkhawatirkan. Metode pembayaran ini menawarkan kemudahan pembayaran di muka yang ditunda, seringkali tanpa bunga, namun saat jatuh tempo, banyak yang terjebak dalam tagihan yang membengkak di luar kendali.
Langkah OJK ini dinilai sebagai langkah proaktif untuk mencegah krisis utang lebih lanjut dan mendorong kelangsungan finansial yang sehat bagi para konsumen dan perusahaan. Pengawasan ketat terhadap skema ini akan membantu menjaga keseimbangan antara inovasi finansial dan perlindungan konsumen.
Selain itu, penerapan aturan yang lebih ketat bagi Pemberi Dana diharapkan bisa menjaring partisipan dengan profil risiko yang lebih terukur dan bertanggung jawab, baik dari sisi pemberi maupun penerima dana. Dengan pengawasan dan regulasi yang lebih baik, diharapkan industri ini dapat berkembang dengan lebih stabil dan dapat memberikan manfaat optimal bagi semua pihak yang terlibat.
Bagi perusahaan pembiayaan, aturan baru ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menata kembali model operasionalnya. Sosialisasi aturan dan kebijakan baru ini menjadi penting agar para pelaku usaha dapat menyesuaikan dengan ketentuan yang ada sebelum aturan ini diterapkan penuh pada tahun 2027.
Dengan langkah ini, OJK berharap dapat mewujudkan industri keuangan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan, serta menghindarkan konsumen dari beban finansial yang mungkin timbul akibat kebijakan kredit yang tidak terukur.