JAKARTA - Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah pada Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) 2025 mengeluarkan keputusan penting terkait hukum jual beli properti di atas tanah wakaf. Dalam sidang yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta Pusat Ketua Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah, KH Muhammad Cholil Nafis, menyampaikan dua butir pandangan hukum yang relevan dengan pendirian dan transaksi properti di atas lahan wakaf.
1. Larangan Membangun di Luar Mauquf ‘Alaih
Kiai Cholil menjelaskan bahwa dari perspektif mazhab Syafi’i, membangun properti di atas tanah wakaf tidak diperbolehkan kecuali oleh pihak mauquf ‘alaih, yaitu mereka yang berhak atas wakaf tersebut. “Hukum mendirikan bangunan ini tergantung pada mauquf ‘alaih; kalau peruntukannya itu untuk dibangun masjid maka hanya harus dibangun masjid, ini untuk dibangun pondok pesantren itu harus dibangun pondok pesantren, tidak boleh dibangun lainnya,” tegasnya.
Menurut mazhab ini, tanah wakaf dan segala yang ada di atasnya harus dijaga ketentuan wakafnya, sehingga hak membangun dibatasi hanya untuk kepentingan yang telah ditentukan oleh wakaf itu sendiri. Oleh karena itu, bangunan yang didirikan di luar ketentuan mauquf ‘alaih dinyatakan ilegal dan tidak sah untuk diperjualbelikan, karena tidak memenuhi syarat pengalihan kepemilikan yang sah.
2. Pendekatan Istihkar sebagai Alternatif
Sebaliknya, mazhab Hanafi memberikan jalan keluar lain dengan memperbolehkan pembangunan menggunakan pola istihkar. “Kalau istihkar diberdayakan secara produktif, maka diperbolehkan dengan didahului mekanisme akad sewa lahan wakaf, termasuk dengan cara hak disewakan yaitu mekanisme pembayaran ongkos sewa lahan wakaf, sebagaimana kompensasi atas berdirinya properti secara permanen,” ujar Kiai Cholil.
Istihkar adalah mekanisme sewa yang memungkinkan pemanfaatan tanah wakaf dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, properti yang dibangun bisa bersifat permanen selama peruntukannya digunakan secara produktif, seperti untuk menghasilkan pendapatan yang dapat dialokasikan untuk keperluan wakaf misalnya masjid atau pondok pesantren. “Misalkan saya wakafkan tanah ini yang manfaatnya adalah untuk masjid, maka bisa dibangun masjid, bisa dibangun bisnis yang hasilnya untuk membiayai masjid, pengajiannya,” tambah Kiai Cholil.
Implikasi Hukum Tanah Wakaf dan Kepemilikan
Kiai Cholil menegaskan bahwa meski dilakukan dengan mekanisme akad sewa, tanah wakaf tetap tidak bisa dijual, diwariskan, atau dihibahkan. “Tanah wakaf tidak boleh dijual, juga tidak boleh diwariskan, tidak boleh dihibahkan sehingga posisinya yang membangun di atas tanah wakaf ini adalah kerja sama akad sewa dengan yang punya tanah wakaf,” jelasnya. Artinya, properti yang berdiri di atas tanah wakaf melalui mekanisme sewa tetap menjadi milik penyewa selama tidak menimbulkan mudharat pada harta wakaf tersebut, namun hak atas tanahnya tetap utuh sesuai dengan ketentuan wakaf yang berlaku.
Keputusan yang disampaikan oleh Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana seharusnya umat Islam mengelola tanah wakaf. Pengambilan keputusan ini juga diharapkan dapat mencegah pelanggaran dan penyalahgunaan dalam praktek jual beli properti di atas tanah wakaf di masyarakat. Melalui mekanisme hukum yang jelas dan tepat, sebagaimana diputuskan dalam sidang ini, diharapkan kehormatan dan kebermanfaatan tanah wakaf dapat terus terjaga.
Kegiatan Munas dan Konbes NU 2025 ini tidak hanya membahas isu-isu hukum agama tetapi juga turut mengedukasi masyarakat, khususnya mengenai pengelolaan wakaf yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian, kesadaran atas pentingnya pengelolaan wakaf yang benar semakin meningkat di kalangan umat Islam.